Hikmah dan Fadhilah (Keutamaan) Ash-Shaum
Ash-Shaum merupakan
salah satu ibadah dalam Islam yang memiliki keutamaan yang sangat
tinggi, serta memiliki berbagai faidah dan hikmah sebagaimana yang
disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya tatkala
menjelaskan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
)يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ( البقرة: ١٨٣
Artinya :
”Wahai
orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian ash-shaum
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian
bertaqwa.” [Al-Baqarah : 183]
Diantaranya :
1.
Ash-shaum adalah salah satu sebab terbesar yang mengantarkan seseorang
menuju taqwa. [1]) Sedangkan taqwa itu akan mendorong orang yang
menjalankan ibadah shaum untuk meninggalkan berbagai larangan Allah
Ta'ala, baik berupa minuman, makanan, dan jima’ (hubungan suami-istri)
dan beberapa larangan sejenisnya yang disukai oleh hawa nafsu, dan shaum
dilakukan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta'ala
dengan mengharapkan balasan di sisi-Nya.
2. Orang yang
menjalankan ibadah shaum melatih jiwanya agar senantiasa merasa diawasi
oleh Allah (muroqobatullah) sehingga dia meninggalkan kemauan hawa
nafsunya meskipun mampu menurutinya, sebab dia mengetahui adanya
pengawasan Allah Ta'ala terhadap dirinya.
3. Ash-shaum dapat mempersempit ruang gerak syaithan karena ia masuk ke dalam tubuh anak Adam melalui aliran darah. ([2])
4. Ash-shaum akan melemahkan kekuatan syaithan, sehingga orang tersebut semakin terjauhkan dari kemaksiatan.
5.
Orang yang menunaikan ash-shaum, mayoritasnya akan melakukan banyak
ketaatan dan itu merupakan bagian dari ketaqwaan kepada Allah Ta'ala
6.
Terkhusus bagi orang kaya bila merasakan pedihnya lapar karena
ash-shaum maka akan muncul dalam dirinya kepedulian kepada fuqara`, dan
hal ini juga merupakan bagian dari ketaqwaan kepada Allah Ta'ala. ([3])
Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin ketika ditanya tentang hikmah ash-shaum, beliau shalallahu
‘alaihi wasallam menjawab antara lain : bahwa ash-shaum mememiliki
beberapa hikmah dalam hal sosial kemasyarakatan, antara lain munculnya
perasaan di tengah-tengah kaum muslimin bahwa mereka adalah umat yang
satu, makan dan bershaum di waktu yang sama. [4])
Asy-Syaikh Alu Bassam dalam Taudhihul Ahkam ([5]) menyebutkan hikmah lain dari ibadah ash-shaum, di antaranya :
1. Mendorong seseorang untuk bersyukur kepada Allah dan mengingat berbagai nikmat-Nya.
2. Memiliki manfaat kesehatan, yaitu memberikan kesempatan pada alat pencernaan untuk istirahat.
[1]
Oleh karena itu, kalau kita perhatikan dengan seksama ayat pertama yang
padanya Allah memerintahkan kaum mu`minin untuk bershaum diakhiri
dengan penyebutan tujuan tersebut, yaitu ayat ke-183 surat Al-Baqarah,
Allah berfirman :
)لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ(
“Agar kalian bertaqwa”
Begitu
pula Allah mengakhiri ayat terakhir tentang perintah ash-shaum ini
dengan penyebutan tujuan tersebut pula, yaitu ayat ke-187 surat
Al-Baqarah, Allah berfirman :
)لَعَلَّهُمْ تَتَّقُونَ(
“Agar mereka bertaqwa”
[2] Dari Shafiyyah radiyallahu 'anha bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda :
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ الإِنْسَانِ مَجْرى الدَّم
“Sesungguhnya
Syaithan berjalan dalam tubuh manusia sesuai dengan aliran darahnya.”
[HR. Al-Bukhari 2035, 2038, 2039, 3101, 3281, 6219, 7171; Muslim 2175]
[3] Tafsir As-Sa’di tafsir Al-Baqarah ayat 183..
[4] Lihat Fatawa Ash-Shiyam karya Asy-Syaikh Al-’Utsaimin hal. 24. lihat pula Fatawal-’Ulama`il-BaladilHaram hal. 277.
[5] Taudhihul Ahkam (3/123)
(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=235, judul asli Hikmah dan Fadhilah (Keutamaan) Ash-Shaum)
2. Fadhilah Ash-Shaum secara umum
Sementara
Fadhilah (keutamaan) Ash-Shaum telah banyak disebutkan dalam berbagai
hadits, baik fadhilah ash-shaum secara umum, maupun fadhilah shaum
Ramadhan secara khusus. Dalam kesempatan ini kami akan menyebutkan
beberapa di antaranya :
1. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
اَلصِّيَامُ
جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ
شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ - مَرَّتَيْنِ - وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِّ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ تَعَالىَ مِنْ
رِيْحِ اْلمِسْكِ، يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ
أَجْلِي، اَلصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ
أَمْثَالِهَا [متفق عليه]
Artinya :
“Ash-Shiyam adalah
perisai. Maka hendaklah seseorang tidak berkata (berbuat) keji dan tidak
berbuat jahil. ([1]) Dan bila ada yang mengajak bertengkar atau
mencelanya maka katakan : “Sesungguhnya saya sedang shaum” - dua kali -
Dan demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, Sungguh bau mulut orang
yang shaum lebih harum daripada bau misk di sisi Allah, ‘ Dia
meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku. Dan Aku
sendiri yang akan membalas amalan baiknya (ash-shaum) dan ketahuilah
bahwa satu kebaikan dilipat gandakan balasannya sampai sepuluh kali
lipat. ” [Muttafaq ‘alaih].([2])
Dalam hadits di atas, ada beberapa fadhilah yang dapat kita petik :
a. Bahwa Ash-Shaum berfungsi sebagai perisai.
Dijelaskan
dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam An-Nasa`i dari
shahabat ‘Aisyah dan ‘Utsman bin Abil ‘Ash, bahwa Ash-Shaum adalah
perisai dari An-Nar (api neraka). Lafazh hadits tersebut adalah :
عَنْ
مُطَرِّفٍ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ، فَدَعَا
بِلَبَنٍ، فَقُلْتُ : إِنِّي صَائِمٌ؛ فَقَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ r
يَقُولُ : (( الصَّوْمُ جُنَّةٌ مِنْ النَّارِ كَجُنَّةِ أَحَدِكُمْ مِنْ
الْقِتَالِ ))
Dari Mutharrif berkata : Aku datang menemui ‘Utsman
bin Abil ‘Ash, kemudian beliau hendak menghidangkan susu untukku. Maka
aku berkata : “Sesungguhnya aku sedang bershaum. Maka beliau (’Utsman
bin Abil ‘Ash) berkata : Sungguh aku telah mendengar Rasulullah [D]
bersabda :
“Ash-Shaum adalah perisai dari An-Nar (api neraka), seperti perisai salah seorang dari kalian dalam peperangan.” [3])
Dalam hadits lain, dari shahabat Jabir radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّمَا الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنْ النَّارِ [رواه أحمد]
“Sesungguhnya shaum itu adalah perisai yang dengannya seorang hamba melindungi diri dari (adzab) An-Nar.” [Ahmad] [4])
b. Aroma mulut seseorang yang sedang bershaum lebih baik di sisi Allah dibandingkan aroma wangi misk. [5])
c. Ibadah shaum yang dilakukan karena Allah, maka pahalanya akan dibalas secara langsung oleh Allah sendiri.
[lihat ulang Fathul Bari syarh hadits no. 1894]
2. Pintu khusus bagi orang-orang yang bershaum, yaitu pintu Ar-Rayyan.
Hadits dari shahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
إِنَّ
فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهِ
الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ
غَيْرُهُمْ، يُقَالُ : أَيْنَ الصَّائِمُونَ ؟ فَيَقُوْمُونَ لاَ يَدْخُلُ
مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلَوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ
مِنْهُ أَحَدٌ. [متفق عليه]
Artinya :
“Sesungguhnya di
Jannah ada sebuah pintu yang dinamakan Ar-Rayyan yang masuk melaluinya
pada Hari Kiamat hanyalah orang-orang yang bershaum (berpuasa). Tidak
akan masuk seorang pun melaluinya selain mereka, kemudian diserukan,
“Manakah orang-orang yang bershaum (berpuasa)?” maka merekapun berdiri.
Tidak ada seorang pun yang akan masuk melalui pintu Ar-Rayyan kecuali
mereka. Setelah mereka masuk semua, maka pintu itupun ditutup, sehingga
tidak ada lagi yang bisa masuk melaluinya.” [Muttafaqun ‘Alaih]. ([6])
Dalam riwayat riwayat lain dengan tambahan :
(( مَنْ دَخَلَ فِيهِ شَرِبَ وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا )) [رواه النسائي و أحمد]
Artinya :
“Barangsiapa
yang masuk melaluinya, pasti dia akan minum, dan barangsiapa yang minum
maka pasti dia tidak akan pernah haus selamanya.” [An-Nasa`i dan Ahmad]
([7])
3. Dijauhkan wajahnya dari An-Nar sejauh tujuh puluh (70) tahun.
Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
مَا
مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ بَاعَدَ اللهُ
بِذلِكَ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا [متفق عليه]
Artinya :
“Tidaklah
seseorang bershaum sehari di jalan Allah melainkan Allah akan
menjauhkan wajahnya dengan shaumnya tersebut dari an-nar di hari kiamat,
sejauh 70 tahun.” [Muttafaq ‘alaih] ([8])
Sebagian ‘ulama
mengkhususkan makna Fi sabilillah dengan jihad, antara lain Al-Imam
Ibnul Jauzi. Al-Imam Al-Bukhari pun menyebutkan hadits ini dalam Kitabul
Jihad was Sair dengan judul bab : فَضْلِ الصَّوْمِ فِي سَبِيْلِ اللهِ
(Keutamaan Ash-Shaum di jalan Allah). Begitu pula Al-Imam An-Nawawi
dalam Syarh Muslim meletakkan bab pada hadits ini dengan judul : فَضْلِ
الصِّيَامِ فِي سَبِيلِ اللهِ لِمَنْ يُطِيقُهُ بِلا ضَرَرٍ وَلا تَفْوِيتِ
حَقٍّ (Keutamaan Ash-Shiyam Fi Sabilillah bagi yang mampu tanpa adanya
kemudharatan dan pengabaian tugas).
Sehingga atas dasar itu
keutamaan yang terkandung dalam hadits di atas hanya khusus bagi yang
bershaum ketika berjihad fi sabilillah.
Namun Al-Imam Al-Qurthubi
menegaskan bahwa makna Fi Sabilillah di sini adalah : ketaatan kepada
Allah secara umum. Sehingga makna hadits adalah : “Barangsiapa yang
bershaum dengan mengharapkan wajah Allah”. Atas dasar itu keutamaan
tersebut tidak hanya terbatas pada shaum ketika berjihad fi sabilillah.
Al-Imam
Al-Hafizh Ibnu Hajar menegaskan bahwa dua kemungkinan makna di atas
memungkinkan sebagaimana makna hadits di atas, sekaligus sebagai makna
hadits berikut ini. [9])
4. Parit penghalang dari adzab An-Nar.
Hadits dari shahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
((
مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللهِ جَعَلَ اللهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ
النَّارِ خَنْدَقًا كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ )) [رواه الترمذي]
Artinya :
“Barangsiapa
yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jadikan
antara dia dengan An-Nar sebuah parit penghalang (yang lebarnya) sejauh
langit dan bumi.” [At-Tirmidzi] ([10])
5. Allah jauhkan darinya api Jahannam sejauh perjalanan seratus tahun
Hadits dari shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
((
مَنْ صَامَ يَومًا فِي سَبِيلِ اللهِ بَاعَدَ اللهُ مِنْهُ جَهَنَّمَ
مَسِيْرَةَ مِائَةِ عَامٍ )) [رواه النسائي و ابن أبي عاصم و الطبراني]
Artinya :
“Barangsiapa
yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jauhkan
api Jahannam darinya sejauh perjalanan seratus tahun.” [An-Nasa`i, Ibnu
Abi ‘Ashim, Ath-Thabarani] [11])
Masalah : Dalam hadits shahabat
‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu ini disebutkan “sejauh perjalanan
seratus tahun”. Sementara dalam hadits shahabat Abu Sa’id Al-Khudri
radhiallahu ‘anhu disebutkan “sejauh 70 tahun”. Secara zhahir perbedaan
ini memunculkan suatu pertanyaan.
Untuk menjawabnya, ada dua jawaban :
a.
Penyebutan bilangan tujuh puluh (70) bukan sebagai batasan mutlak,
tetapi dalam rangka menggambar betapa sangat jauhnya jarak tersebut. Hal
ini sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Al-Qurthubi dan dipertegas oleh
Al-Hafizh Ibnu Hajar.
- Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata :
ورد ذكر السبعين لإرادة التكثيركثيرا
“Penyebutan bilangan tujuh puluh (70) pada hadits di atas dalam rangka menggambarkan betapa sangat jauhnya.”
Kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menegaskan :
ويؤيده
أن النسائي أخرج الحديث المذكور عن عقبة بن عامر والطبراني عن عمرو بن
عبسة وأبو يعلى عن معاذ بن أنس فقالوا جميعا في رواياتهم ( مائة عام ).
“Memperkuat
pernyataan Al-Qurthubi di atas, An-Nasa`i meriwayatkan hadits tersebut
dari shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir, demikian juga Ath-Thabarani
meriwayatkannya dari shahabat ‘Amr bin ‘Abasah, dan Abu Ya’la
meriwayatkan dari shahabat Mu’adz bin Anas, semuanya menyebutkan dalam
periwayatan mereka : (bilangan) “Seratus tahun”“. [12])
Jawaban
senada juga diucapkan oleh Al-Imam As-Sindi dalam Syarh Sunan An-Nasa`i,
bahwa penyebutan bilangan tujuh puluh atau seratus tahun bukan sebagai
batasan mutlak, tetapi dalam rangka menggambar betapa sangat jauhnya
jarak tersebut. [13])
b. Ada kemungkinan, Allah subhanahu
wata’ala hendak menambah fadhilah dan pahala bagi orang yang bershaum
sehingga menyempurnakan jauhnya jarak tersebut menjadi seratus tahun
perjalanan setelah sebelumnya sejauh tujuh puluh tahun. Jawaban kedua
ini disampaikan oleh Al-Imam As-Sindi rahimahullah dalam Syarh Sunan
An-Nasa`i. [14])
Terkait dengan fadhilah di atas, ada beberapa
hadits yang sering diriwayatkan namun secara sanad lemah. Di antara
hadits-hadits tersebut :
- Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
((
مَنْ صَامَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى، بَعَّدَهُ اللهُ U
مِنْ جَهَنَّمَ كَبُعْدِ غُرَابٍ طَارَ وَهُوَ فَرْخٌ حَتَّى مَاتَ هَرِمًا
)) [رواه أحمد، أبو يعلى، و البيهقي، و الطبراني]
Artinya :
“Barangsiapa
yang bershaum (berpuasa) dalam rangka mengharap wajah Allah, niscaya
Allah jauhkan dia dari neraka jahannam sejauh perjalanan terbang burung
Gagak, semenjak burung Gagak tersebut baru menetas hingga mati di usia
yang tua. ” [Ahmad, Abu Ya’la, Al-Baihaqi, dan Ath-Thabarani] [15])
- Hadits dari shahabat Abu Umamah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
((
مَنْ صَامَ يَوْماً فِي سَبِيلِ اللهِ؛ بَعَّدَ اللهُ وَجْهَهُ عَنِ
النَّارِ مِائَةَ عَامٍ، رَكْضَ الفَرَسِ الجَوَّادِ المُضَمَّرِ )) [رواه
عبد الرزاق و الطبراني]
Artinya :
“Barangsiapa yang
bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jauhkan api
Jahannam darinya sejauh perjalanan seratus tahun, dengan kecepatan kuda
tunggangan gesit dan kuat. [16]“ [’Abdurrazzaq dan Ath-Thabarani] [17])
* * *
[1]
Perbuatan jahil maksudnya adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh
orang jahil seperti berteriak-teriak atau berbuat kedunguan ( اَلسَّفَه
), dan lain-lain (lihat Fathul Bari Kitabush Shaum hadits no. 1894).
[2] Al-Bukhari 1894, Muslim 1151.
[3] An-Nasa`i no. 2231. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2231.
[4]
HR. Ahmad, dari shahabat Jabir, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Shahihut Targhib wat Tarhib no. 981. Lihat pula Shahihul Jami’ish
Shaghir no. 4308.
[5] Hal ini tidak berarti bahwa orang yang
bershaum disyari’atkan untuk membiarkan bau mulutnya. Bahkan tetap
disunnahkan bagi orang yang bershaum untuk bersiwak, sebagaimana pernah
dijawab oleh shahabat Mu’adz bin Jabal dalam sebuah atsar yang
disebutkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kita beliau Irwa`ul Ghalil
I/106 . Lihat pembahasan lengkap pada bab halaman ………………..
[6] Al-Bukhari 1896, Muslim 1152.
[7] An-Nasa`i no. 2236, Ahmad V/336. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2236.
[8] Al-Bukhari 2840, Muslim 1153.
[9] Lihat Fathul Bari syarh hadits no. 2840.
[10] At-Tirmidzi 1624. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 563.
[11]
An-Nasa`i no. 2254, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitabul Jihad I/88/2,
Ath-Thabarani dalam Al-Kabir no. 927. Dihasankan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani v dalam Ash-Shahihah no. 2565.
[12] Fathul Bari syarh hadits no. 2840.
[13] Lihat Syarh Sunan An-Nasa`i oleh Al-Imam As-Sindi, syarh hadits no. 2565.
[14] Ibid.
[15]
Ahmad II/526 Karena pada sanadnya ada ‘Abdullah bin Lahi‘ah seorang
perawi yang lemah, sekaligus ayahnya yaitu Lahi‘ah, dia seorang perawi
yang majhulul hal sebagaimana dinyatakan oleh Ibnul Qaththan; Al-Hafizh
juga berkata tentangnya : mastur. Dalam sanadnya juga ada rawi yang
mubham, yaitu gurunya Lahi‘ah. Hadits ini didha’ifkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani v dalam Adh-Dha’ifah no. 1330.
[16] Tentang makna
(Al-Jawad) dan (Al-Mudhammar) lihat Fathul Bari syarh hadits no. 2870,
6553; dan Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi, syarh hadits no. 2828.
[17]
‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (V/301/9683), Ath-Thabarani dalam
Al-Mu’jamul Kabir (VIII/233/7806). Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Adh-Dha’ifah no. 6910 berkata tentang hadits ini : “Munkar dengan
konteks secara lengkap seperti di atas. Karena pada sanadnya terdapat
kelemahan yang berentet, ada tiga perawi yang semuanya dha’if (lemah),
yaitu : ‘Ali bin Yazid, ‘Ubaidullah bin Zahr, dan Al-Mutharrih.”
Dalam kitabnya Taqribut Tahdzib, Al-Hafizh berkata tentang ‘Ali bin Yazid bin Abi Hilal : dha’if (lemah).
Kemudian
tentang ‘Ubaidullah bin Zahr, beliau berkata : Saduqun Yukhthi’ (jujur
namun berbuat kesalahan dalam periwayatan hadits).
Adapun tentang Mutharrih bin Yazid, beliau berkata : dha’if (lemah).
Oleh
karena itu Al-Imam Al-Haitsami v dalam kitabnya Majma’uz Zawa`id
melemahkan hadits di atas dengan sebab keberadaan Mutharrih bin Yazid
ini. beliau berkata : “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam
Al-Kabir, namun dalam sanadnya terdapat Mutharrih, dia adalah seorang
perawi yang dha’if.” (lihat Adh-Dha’ifah no. 6910).
(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=236, judul asli Fadhilah Ash-Shaum secara umum 1)
3. Fadhilah Ash-Shaum secara umum
6.
Hadits Hudzaifah radhiallahu ‘anhu yang disebutkan oleh Al-Imam
Al-Bukhari dalam Shahihnya, Bab : Ash-Shaum Kaffarah, bahwasannya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata:
فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَ مَالِهِ وَ جَارِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلاَةُ وَ الصِّيامُ وَ الصَّدَقَةُ (متفق عليه)
Artinya :
“Dosa
yang dilakukan seseorang karena terfitnah oleh keluarga, harta, atau
tetangganya dihapuskan oleh shalat, shaum, dan shadaqahnya.” [Muttafaqun
‘alaihi] ([1])
7. Hadits Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
((
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ
وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ )) [متفق عليه]
Artinya :
“Bagi
orang yang bershaum (berpuasa) dua kegembiraan : Jika berbuka dia
bergembira dengan berbukanya tersebut, jika bertemu Rabbnya (Allah) dia
bergembira dengan (pahala) shaumnya.” [Muttafaqun ‘alaihi, dengan lafazh
Muslim] ([2])
8. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
((
مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ
لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ
بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ )) [متفق عليه]
Artinya :
“Barangsiapa
yang telah mampu menikah hendaknya segera menikah, karena sesungguhnya
pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.
Namun barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa, karena
sesungguhnya shaum tersebut berfungsi sebagai perisai baginya.
[Muttafaqun ‘alaihi] ([3])
Dari hadits di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa di antara hikma ash-shaum berfungsi sebagai perisai
seorang hamba dari kejahatan syahwatnya. Sekaligus sebagai salah satu
jalan keluar bagi para pemuda yang belum mampu melakukan pernikahan.
9. Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
((
الصِّيَامُ و القُرآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ القِيَامَةِ،
يَقُولُ الصِّيَامُ: أَي رَبِّ إِنِّي مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَ
الشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفَّعْنِي فِيهِ؛ يَقُولُ القُرْآنُ: رَبِّ
مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ فَيُشَفَّعَانِ ))
Artinya :
“Ash-Shiyam
dan Al-Qur`an keduanya memberikan syafa’at untuk hamba tersebut pada
Hari Kiamat. Berkata Ash-Shiyam : “Wahai Rabb, sesungguhnya aku telah
menghalanginya dari makanan dan syahwat pada siang hari, maka terimalah
syafa’atku untuknya.” Al-Qur`an berkata : Wahai Rabbku, aku telah
menghalanginya dari tidur pada malam hari, maka terimalah syafa’atku
untuknya. Maka keduanya memberikan syafa’at [Ahmad dan Ath-Thabarani]
([4])
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata :
أي :
يشفعهما الله فيه و يدخله الجنة، قال المناوي : (( و هذا القول يحتمل أنه
حقيقة بأن يجسد ثوابهما و يخلق الله فيه النطق )وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ(، و يحتمل أن على ضرب من المجاز و التمثيل )).
قلت :
و الأول هو الصواب الذي ينبغي الجزم به هنا وفي أمثاله من الأحاديث التي
فيها تجسيد الأعمال و نحوها، كمثل تجسيد الكنـز شجاعا أقرع، و نحوه كثير. و
تأويل مثل هذه النصوص ليس من طريقة السلف y، بل هو طريقة المعتزلة و من
سلك سبيلهم من الخلف، و ذلك مما ينافي أول شروط الإيمان )الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ( البقرة: ٣، فحذار أن تحذو حذوهم، فتضل و تشقي، و
العياذ بالله. اهـ
Maksudnya adalah : Al-Qur`an dan Ash-Shiyam
keduanya diizinkan oleh Allah untuk memberi syafa’at kepada orang
tersebut sekaligus memasukkannya ke dalam Al-Jannah. Al-Munawi berkata :
“Ada kemungkinan bahwa maksud perkataan di atas adalah secara hakekat
sebenarnya, yaitu dengan Allah rupakan dalam bentuk fisik ganjaran kedua
amalan tersebut, kemudian Allah ciptakan untuk keduanya kemampuan untuk
berbicara.
)وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(
“dan Allah Maha mampu atas segala sesuatu.”
Ada juga kemungkinan bahwa hal itu hanya sebatas permisalan dan majaz.”
Menanggapi
pernyataan Al-Munawi di atas, Asy-Syaikh Al-Albani berkata :
“Kemungkinan pertama itulah yang benar dan harus dipastikan dalam
permasalahan dan yang semisalnya dari berbagai bentuk hadits yang di
dalamnya disebutkan tentang dirupakannya amalan dalam bentuk jasad
(fisik) dan yang semisalnya. …. sementara penta’wilan (pemalingan maksud
hadits dari makna sebenarnya kepada makna majaz) terhadap nash-nash
seperti ini bukanlah metode generasi salaf radhiallahu ‘anhum, bahkan
itu adalah metode kelompok Al-Mu’tazilah dan pihak-pihak yang mengikuti
jejak mereka dari kalangan kaum khalaf. Cara penakwilan seperti itu
sangat bertentangan dengan syarat pertama keimanan, yaitu :
)الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ( البقرة: ٣،
“orang-orang yang berimana kepada hal-hal ghaib” [Al-Baqarah : 3]
Maka
waspadalah engkau dari sikap mengikuti jejak mereka (kaum mu’tazilah)
yang menyebabkan engkau menjadi sesat dan celaka. Wal’iyyadzubillah.
–selesai–
10. Hadits dari shahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ : الإِمَامُ الْعَادِلُ، وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ … ))
“Tiga
pihak tidak akan ditolak do’a mereka : Seorang pemimpin yang adil,
seorang yang bershaum hingga dia berbuka, dan do`a seorang yang
terzhalimi, …” [At-Tirmidzi dan Ibnu Majah] [5])
Dari hadits di
atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa do’a seorang yang bershaum
ketika dia sedang menunaikan shaumnya hingga datangnya waktu ifthar
adalah do`a yang mustajab. Sementara hadits dari shahabat Ibnu ‘Umar
radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda :
(( لِكُلِّ صَائِمٍ عِنْدَ فِطْرِهِ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ ))
“Setiap orang yang bershaum memiliki do`a yang mustajab ketika dia berifthar (berbuka).” [Ibnu ‘Adi] [6])
Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ibnu Majah dan Al-Hakim dari shahabat ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al-’Ash dengan lafazh :
(( إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ دَعْوَةٌ لاَ تُرَدُّ ))
“Sesungguh orang yang bershaum memiliki do`a yang tidak ditolak ketika dia berifthar”
Al-Imam
Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Zadul Ma’ad mengisyarahkan tentang
lemahnya hadits ini. Asy-Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini
lemah. [7])
* * *
[1] Al-Bukhari 1895 , Muslim 144.
[2] Al-Bukhari 1904, Muslim 1151.
[3] Al-Bukhari 1905, Muslim 1400.
[4]
Ahmad dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani Shahihul Jami’ish Shaghir no. 3882. Adapun dalam Shahihut
Targhib no. 984 beliau menyatakan : Hasan Shahih. Lihat pula Tamamul
Minnah hal. 394-395.
[5] At-Tirmidzi 3598, Ibnu Majah 1752.
[6]
Ibnu ‘Adi. Pada sanad ada seorang perawi yang bernama Muhammad bin
Ishaq Al-Balkhi. Ibnu ‘Adi berkata tentangnya : “Al-Balkhi ini adalah
seorang perawi yang haditsnya tidak menyerupai hadits para perawi yang
jujur.” Asy-Syaikh Al-Albani berkata bahwa Al-Imam Shalih Jazarah dan
selainnya menyatakan bahwa orang ini pendusta. Lihat penjelasan
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 4325.
[7] Lihat Al-Irwa` no. 921.
(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=237, judul asli Fadhilah Ash-Shaum secara umum 2)
4. Fadhilah Shaum Ramadhan ( 1 )
1. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
((
اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ
إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتُ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْـتَـنَبَ
الْكَبَائِرَ )) [رواه مسلم]
Artinya :
“Shalat lima waktu,
Jum’at ke Jum’at berikutnya, Ramadhan ke Ramadhan berikutnya merupakan
penghapus dosa-dosa selama masih meninggalkan dosa-dosa besar.” [HR.
Muslim] ([1])
Namun keutamaan dan fungsi Ramadhan sebagai
penghapus dosa sangat bergantung kepada sikap dan kemauan hamba untuk
menjauhi Al-Kaba`ir , yaitu dosa-dosa besar. Hal ini sebagaimana
ditegaskan pula oleh Allah subhanahu wata’ala dalam firman-Nya :
“Jika
kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang
kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian
(dosa-dosamu yang kecil) dan kami masukkan kalian ke tempat yang mulia
(Al-Jannah).” [An-Nisa` : 31]
Berkata Asy-Syaikh As-Sa’di radhiallahu ‘anhu tentang ayat di atas :
“Tentu
ini merupakan bentuk keutamaan dan kebaikan Allah terhadap
hamba-hamba-Nya yang mu`min. Allah menjanjikan kepada mereka bahwa jika
mereka menjauhi dosa-dosa besar yang terlarang, maka pasti Dia akan
mengampuni seluruh dosa dan kesalahannya, serta akan memasukkan mereka
ke tempat yang mulia dan penuh kebaikan, yaitu Al-Jannah yang meliputi
segala keindahan yang belum pernah dilihat oleh mata, dan belum pernah
di dengar oleh telinga, bahkan belum pernah terbetik dalam sanubari
manusia.
Termasuk pula dalam upaya menjauhkan diri dari
Al-Kaba`ir adalah menunaikan berbagai kewajiban, yang apabila
ditinggalkan maka pelakunya tergolong telah melakukan dosa besar,
seperti shalat lima waktu, dan shalat Jum’at, serta shaum Ramadhan,
sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
“Antara
shalat lima waktu, dan shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya, serta antara
Ramadhan ke Ramadhan berikutnya berfungsi sebagai penghapus dosa-dosa
yang terjadi di antara keduanya selama masih dijauhi dosa-dosa besar”
Definisi
Al-Kaba`ir yang terbaik adalah sebuah dosa yang diancam dengan hukuman
pidana di dunia, atau ancaman adzab di akhirat, atau penafian iman (dari
pelakunya), terkenainya laknat dan marah Allah atasnya.” [2])
Dari keterangan di atas, setidaknya ada dua kesimpulan yang bisa kita ambil :
1.
Bahwa shaum Ramadhan tidak akan berfungsi sebagai penebus dosa atau
penghapus kesalahan kecuali apabila pelakunya berupaya meninggalkan
Al-Kaba`ir (dosa-dosa besar).
2. bahwa kita harus mengetahui
definisi dan batasan Al-Kaba`ir, sehingga dengan itu kita dapat
menghindarkan diri kita darinya, dan tentunya hal itu tidak mungkin
tercapai kecuali dengan thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu syar’i).
2. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ))
Artinya :
“Barangsiapa
berpuasa Ramadhan karena dorongan iman dan mengharap (pahala) maka
pasti Allah ampuni dosa-dosanya yang telah lalu . [Muttafaqun ‘alaihi]
([3])
Hadits ini memiliki kemiripan dengan hadits yang
sebelumnya, yaitu dari sisi bahwa barangsiapa yang bershaum pada bulan
Ramadhan akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Namun keutamaan
tersebut memang hanya bisa diraih dengan dua syarat :
a. Shaum
yang dia lakukan berdasarkan kepada keimanan, yaitu keimanan bahwa shaum
Ramadhan merupakan syari’at yang haq yang datangnya dari Allah dan
telah diwajibkan kepada kaum mu`minin.
b. Shaum yang dia lakukan
berdasarkan sikap ihtisab (mengharapkan) pahala dan ridha Allah
subhanahu wata’ala. Sehingga mendorong dia untuk melakukannya dengan
penuh keikhlasan, tanpa ada unsur kepentingan duniawi.
Sehingga
barangsiapa yang melakukan shaum Ramadhan tanpa dilandasi dua sikap di
atas, dia tidak akan mendapatkan keutamaan yang dijanjikan.
Terkait dengan permasalahan di atas, ada beberapa hadits dha’if yang perlu diketahui, antara lain :
a. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu secara marfu’ dengan lafadz :
((
وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا؛ غُفِرَ لَهُ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ )). رواه النسائي في الكبرى
“Barangsiapa
yang beribadah pada malam lailatul qadr karena dorongan iman dan
mengharap (pahala) maka pasti Allah ampuni dosa-dosanya yang telah lalu
dan yang akan datang. [An-Nasa`i] [4])
Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullah berkata : Hadits ini dengan tambahan lafazh (( وَ مَا
تَأَخَّرَ )) adalah hadits yang Syadz (ganjil).
b. Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( من صام رمضان وعرف حدوده، وتحفظ مما كان ينبغي أن يتحفظ منه، كفر ما قبله )) . رواه أحمد والبيهقي
“Barangsiapa
yang bershaum di bulan Ramadhan dan mengetahui batas-batas (syar’i)
nya, serta dia berupaya menjaga diri dari segala sesuatu yang semestinya
ia menjaga dirinya dari hal itu, maka pasti akan diampuni dosa-dosanya
yang telah lalu.” [Ahmad dan Al-Baihaqi]
Hadits ini adalah hadits
yang lemah, sebagaimana ditegaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Tamamul Minnah. [5]) Karena pada sanadnya ada seorang perawi yang
majhul, yaitu ‘Abdullah bin Quraith. Al-Imam Al-Haitsami berkata, bahwa
perawi ini telah disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim namun beliau tidak
menyebutkan tentangnya, baik jarh (cercaan) atau pun ta’dil
(rekomendasi). Disebutkan dalam kitab Ta’jilul Manfa’ah bahwa Al-Husaini
berkata tentang perawi ini dalam kitab Rijalul Musnad : bahwa dia
adalah seorang perawi yang majhul.
3. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ ))
Artinya :
“Jika telah datang bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu Al-Jannah [Muttafaqun ‘alaihi] ([6])
[1] Muslim 233
[2] Tafsir As-Sa’di surat An-Nisa` : 31.
[3] Al-Bukhari 1901, Muslim 760.
[4] An-Nasa`i dalam As-Sunanul Kubra. Lihat Adh-Dha’ifah no. 5083.
[5] Lihat Tamamul Minnah hal. 395.
[6] Al-Bukhari 1898, Muslim 1079.
(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=239, judul asli Fadhilah Shaum Ramadhan ( 1 ))
5. Fadhilah Shaum Ramadhan ( 2 )
1. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ، وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ ))
Artinya :
“Jika
telah datang bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu langit dan
ditutuplah pintu-pintu Jahannam, serta dibelenggulah para syaithan.
[Muttafaqun ‘alaihi] ([1])
Dalam riwayat Muslim disebutkan pula dengan lafazh :
(( … فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الرَّحْمَةِ … ))
“… maka dibukalah pintu-pintu rahmat … “
Dari tiga riwayat hadits di atas, kita mengetahui adanya tiga lafazh yang berbeda, yaitu :
- dibukakannya pintu Al-Jannah
- dibukakannya pintu rahmat
- dibukakannya pintu langit
sepintas nampak kontradiktif, namun pada hakekatnya tidak demikian.
Maksud
“dibukakannya pintu langit” adalah dalam rangka naiknya berbagai
perkataan baik kepada Allah, baik dalam bentuk dzikir maupun kalimat
tauhid Lailaha Illallah, serta diangkatnya berbagai amalan shalih menuju
kepada Allah. Sebagaimana firman Allah :
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ فاطر: ١٠
“kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” [Fathir : 10]
Sehingga dengan itu langit lebih banyak dibuka pada bulan Ramadhan, karena banyaknya perkataan baik dan amalan shalih padanya.
Sementara “dibukanya pintu rahmah” ada dua kemungkinan makna :
1.
Dalam rangka rahmat Allah turun kepada hamba-hamba-Nya yang mu`min,
yang rahmat itu sendiri merupakan sebab masuk Al-Jannah, sehingga
hamba-hamba Allah tidaklah masuk Al-Jannah kecuali dengan sebab rahmat
Allah, bukan karena amalan mereka.
2. Makna rahmat dalam hadits
ini adalah Al-Jannah. Karena dalam beberapa keterangan Al-Jannah
terkadang diistilahkan dengan “rahmat”, sebagaimana dalam hadits :
قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لِلْجَنَّةِ : (( أَنْتِ رَحْمَتِي أَرْحَمُ بِكِ مَنْ أَشَاءُ مِنْ عِبَادِي ))
“Allah
Tabaraka wa Ta’ala berkata kepada Al-Jannah : ‘Engkau adalah rahmat-Ku
yang denganmu Aku merahmati siapa yang Aku kehendaki dari kalangan
hamba-hamba-Ku’.” [Muttafaqun ‘alaih] [2])
Penjelasan tentang maksud : « وصفدت الشياطين »
Di antara yang sering ditanyakan adalah maksud kalimat « وصفدت الشياطين » (dan dibelenggulah para syaithan).
Ketahuilah
bahwa maksud kalimat di atas bukanlah seluruh jenis syaithan. Namun
hanya terbatas pada jenis syaithan yang diistilahkan dengan Al-Maradah (
المَرَدَةُ ), yaitu para syaithan yang tingkat kejahatan dan
kedurhakaanny paling besar. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh para
‘ulama, antara lain :
1. Ibnu Khuzaimah rahimahullah. dalam kitab Shahihnya, beliau menyebutkan :
باب ذكر البيان أن النبي r إنما أراد بقوله : « وصفدت الشياطين » مردة الجن منهم، لا جميع الشياطين
Bab
: Penjelasan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam hanyalah
memaksudkan dengan perkataannya : « وصفدت الشياطين » (dan dibelenggulah
para syaithan) adalah jenis jin yang maradah (paling durhaka), bukan
seluruh jenis syaithan.
Kemudian beliau menyebutkan hadits dari shahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
1776 - « إِذَا كَان أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ مَرَدَةُ الجِنِّ، … »
“Jika
pada malam hari pertama bulan Ramadhan dibelenggulah para syaithan dari
jenis maradatul jin (jin yang paling durhaka), … ” –selesai dari Ibnu
Khuzaimah–
Disebutkan pula dalam Sunan An-Nasa`i, juga dari hadits Abu Hurairah, dengan lafazh :
(( … وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ، … ))
“… dan padanya dibelenggu para syaithan yang paling durhaka. … ” [An-Nasa`i] [3])
2. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Riyadhish Shalihin berkata :
“Maksud
(dibelenggulah para syaithan) adalah jenis maradah (yang paling
durhaka) di antara mereka. sebagaimana telah disebutkan dalam riwayat
lain. Sementara yang dimaksud dengan Al-Maradah adalah : yaitu para
syaithan yang paling besar permusuhan dan kebencianya terhadap anak
Adam.” ([4])
Namun ada sebagian ‘ulama yang memberikan lain dari yang kami sebutkan di atas, antara lain Al-Imam Al-Hulaimi, beliau berkata :
“yang
dimaksud adalah para syaithan pencuri berita (dari langit). Tidakkah
engkau perhatikan Rasulullah menyebut (( مردة الشياطين ))، (para
syaithan yang sangat durhaka) karena bulan Ramadhan adalah waktu
turunnya Al-Qur`an ke langit bumi, yang upaya penjagaan (terhadap)
Al-Qur’an dilakukan dengan cara bintang-bintang (yang dilemparkan),
sebagaimana firman Allah Ta’ala :
(وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ ) الصافات: ٧
“dan juga sebagai penjagaan (dengan sebenar-benarnya) dari setiap syaithan yang sangat durhaka.” [Ash-Shaffat : 7] [5])
Sehingga
dengan itu pembelengguan semakin diperketat pada bulan Ramadhan, dalam
rangka penjagaan yang lebih serius (terhadap Kalamullah). [6])
2. Hadits dari shahabat ’Amr bin Murrah Al-Juhani radhiallahu ‘anhu , beliau berkata :
جاء
رجل إلى النبي r فقال : يا رسول الله أرأيت إن شهدت أن لا إله إلا الله
وأنك رسول الله، وصليت الصلوات الخمس، وأديت الزكاة، وصمت رمضان وقمته،
فممن أنا؟ قال : (( من الصديقين والشهداء )) [رواه البزار وابن خزيمة وابن]
Seseorang
datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata : Wahai
Rasulullah, bagaimana pendapat engkau jika saya bersaksi La ilaha
Illallah dan bahwa engkau adalah Rasulullah, saya melaksanakan shalat
lima waktu, saya menunaikan zakat, dan saya bershaum di bulan Ramadhan
dan saya laksanakan shalat (pada malam harinya), maka dari golongan
manakah aku?
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab :
“Dari kalangan Ash-Shiddiqin dan Asy-Syuhada’ ” [Al-Bazzar, Ibnu
Khuzaimah, dan Ibnu Hibban] [7])
Dari keterangan di atas, kita
tahu bahwa seorang hamba yang menunaikan shaum Ramadhan dan rajin
melakukan Qiyamullail (shalat malam) padanya, maka dia akan digolongkan
dalam golongan para syuhada` dan shiddiqin.
3. Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri :
(( إن لله تبارك وتعالى عتقاء في كل يوم وليلة - يعني في رمضان - وإن لكل مسلم في كل يوم وليلة دعوة مستجابة )) رواه البزار
“Sesungguhnya
Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan (dari adzab An-Nar) pada
setiap siang dan malam –yakni di bulan Ramadhan– dan sesungguhnya setiap
muslim memiliki do’a yang mustajab pada setiap siang dan malam”
[Al-Bazzar] [8])
4. Hadits dari shahabat Ka’b bin ‘Ujrah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
((
احضروا المنبر )) فحضرنا فلما ارتقى درجة قال : (( آمين ))؛ فلما ارتقى
الدرجة الثانية قال : (( آمين ))؛ فلما ارتقى الدرجة الثالثة قال : (( آمين
))؛ فلما نزل قلنا : يا رسول الله لقد سمعنا منك اليوم شيئا ما كنا نسمعه؟
قال : (( إن جبريل عليه السلام عرض لي، فقال : بعد من أدرك رمضان فلم يغفر
له، قلت آمين، فلما رقيت الثانية قال : بعد من ذكرت عنده فلم يصل عليك،
فقلت آمين، فلما رقيت الثالثة قال بعد : من أدرك أبويه الكبر عنده أو
أحدهما فلم يدخلاه الجنة، قلت آمين )) رواه الحاكم وقال صحيح الإسناد
“Hadirlah
kalian di sekitar mimbar” maka kami pun segera hadir. Ketika menaiki
tangga pertama beliau mengucapkan “Amin” ; dan ketika menaiki tangga
kedua beliau mengucapkan “Amin”; begitu pula ketika menaiki tangga
ketiga, beliau mengucapkan “Amin”. Ketika beliau telah turun dari
mimbar, kami bertanya : “Wahai Rasulullah sungguh kami telah mendengar
darimu sesuatu pada hari ini yang belum pernah kami mendengar
sebelumnya?” maka beliau menjawab : “Sungguh telah datang kepadaku
Jibril, kemudian dia berkata : ‘Celakalah seorang yang memasuki bulan
Ramadhan namun dia tidak diampuni.’ Maka aku berkata : Amin. Kemudian
ketika aku menaiki tangga kedua, Jibril berkata : ‘Celakalah seseorang
yang disebutkan namamu di hadapannya namun dia tidak bershalawat
untukmu.’ Maka aku pun mengucapkan Amin. Dan ketika aku menaiki tangga
ketiga, Jibril berkata : ‘Celakalah seorang yang menemui kedua orang
tuanya pada masa tua, atau salah satu di antara keduanya, namun
(keberadaan) keduanya tidak mampu memasukkan dia ke dalam Al-Jannah.’
Maka aku pun mengucapkan Amin.” [HR. Al-Hakim] [9]
Dalam hadits
di atas, ada sebuah penekanan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh ampunan. Sehingga
hendaknya setiap mu`min berupaya dengan sungguh-sungguh untuk
mendapatkannya. Karena apabila dia gagal mendapatkan ampunan di bulan
Ramadhan maka dia akan mendapatkan do`a celaka dari malaikat Jibril
‘alaihis salam dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Semoga Allah
melindungi kita semua.
[1] Al-Bukhari 1899, Muslim 1079.
[2] Al-Bukhari 4850, Muslim 2846 dari shahabat Abu Hurairah.
[3] HR. An-Nasa`i 2106. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2106.
[4] Syarh Riyadhish Shalihin karya Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, hadits no. 1220.
[5] Konteks ayat tersebut adalah sebagai berikut :
إِنَّا
زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ (6) وَحِفْظًا
مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ (7) لَا يَسَّمَّعُونَ إِلَى الْمَلَإِ
الْأَعْلَى وَيُقْذَفُونَ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ الصافات: ٦ - ٨
“Sesungguhnya
Kami telah menghias langit dunia dengan hiasan bintang-bintang, dan
juga sebagai penjagaan (dengan sebenar-benarnya) dari setiap syaithan
yang sangat durhaka. Agar syaithan-syaithan itu tidak dapat mencuri-curi
dengar (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari (dengan
bintang-bintang tersebut) dari segala penjuru.” [Ash-Shaffat : 6-8]
[6] Lihat Shahihut Targhib wat Tarhib di bawah hadits no. 999.
[7]
Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Shahihut Targhib no. 361, 749, 1003, 2515,
[8] HR. Al-Bazzar. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib no. 1002
[9]
HR. Al-Hakim. Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam Shahihut Targhib wat
Tarhib hadits no. 995 : Shahih li gharihi. Hadits tersebut diriwayatkan
pula dari shahabat Abu Hurairah, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam
At-Tirmidzi. Riwayat kedua ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam
Al-Jami’ush Shahih bab : At-Tarhib min Ifthar Ramadhan (II/378)
Sumber : http://alfirqatunnajiyyah.blogspot.com/2010/08/hikmah-fadhilah-keutamaan-shaum.html